Arah Baru Industri Pertahanan Nasional
Industri pertahanan merupakan salah satu simbol paling kuat dari kemandirian suatu bangsa. Ia tidak hanya mencerminkan kemampuan negara dalam memproduksi senjata, tetapi juga menunjukkan kedalaman ilmu pengetahuan, kekuatan riset, kualitas engineering, dan ketangguhan sistem organisasinya. Dengan kata lain, industri pertahanan adalah gambaran nyata dari seberapa jauh sebuah bangsa menguasai teknologi strategis dan kemampuan inovasi yang menopang kedaulatan nasional.
Perjalanan industri pertahanan Indonesia sendiri tidaklah singkat. Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun kekuatan pertahanan yang mandiri. Pada tahap awal, ketergantungan pada impor menjadi pilihan pragmatis karena keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia. Alutsista banyak diperoleh dari luar negeri, dan teknologi tinggi masih menjadi barang mewah yang sulit diakses. Namun ketergantungan ini membawa konsekuensi strategis: Indonesia selalu berada dalam posisi rentan terhadap embargo, dinamika geopolitik, atau keterbatasan transfer teknologi.
Upaya substitusi impor mulai menguat pada dekade-dekade berikutnya. BUMN pertahanan seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia memulai langkah besar untuk memproduksi alutsista secara mandiri. Berbagai keberhasilan lahir dari fase ini: kendaraan tempur, amunisi, kapal perang, hingga pesawat angkut ringan. Namun, meskipun capaian ini sangat penting, model industri yang berkembang masih berbasis produksi—fokus pada pabrik, lini perakitan, dan kemampuan manufaktur.
Masalahnya, dunia tidak lagi bergerak dengan logika industri abad ke-20. Persaingan pertahanan global kini tidak hanya tentang siapa yang memiliki pabrik terbesar, tetapi siapa yang mampu berinovasi tercepat. Evolusi teknologi seperti AI, robotika, sistem otonom, peperangan siber, digital twin, hingga material komposit futuristik telah menggeser paradigma pertahanan dari production-based menjadi knowledge-based. Dengan kata lain, industri pertahanan modern membutuhkan lebih dari sekadar fasilitas produksi—it needs intelligence, innovation, and integrated knowledge ecosystems.
Indonesia kini memasuki fase penting dalam perjalanan panjang itu: transformasi dari sistem berbasis produksi menuju sistem berbasis inovasi. Transformasi ini bukan sekadar modernisasi teknologi, tetapi restrukturisasi cara berpikir, cara bekerja, dan cara berkolaborasi. Industri pertahanan tidak lagi dapat berdiri sendiri; ia harus menjadi bagian dari knowledge network nasional yang menghubungkan universitas, lembaga riset, startup teknologi, kementerian, dan komunitas profesional.
Dalam konteks transformasi inilah, EB2P Defense (Ekosistem Bisnis Berbasis Pengetahuan untuk Pertahanan) hadir sebagai paradigma baru yang menyatukan berbagai elemen pengetahuan, teknologi, dan ekonomi dalam satu ekosistem pertahanan nasional yang cerdas, adaptif, dan berkelanjutan.
EB2P Defense tidak hanya fokus pada produksi alutsista, tetapi menempatkan pengetahuan sebagai energi strategis yang menggerakkan keseluruhan rantai nilai. Dengan pendekatan ini, industri pertahanan diarahkan untuk:
-
mengintegrasikan hasil riset universitas dan lembaga penelitian,
-
mempercepat hilirisasi inovasi ke dalam produk,
-
menguatkan transfer pengetahuan lintas lembaga,
-
mempercepat pengambilan keputusan berbasis data,
-
dan menciptakan kemandirian teknologi jangka panjang.
EB2P Defense menawarkan model yang tidak hanya mereformasi cara industri pertahanan bekerja, tetapi juga cara seluruh bangsa memandang pertahanan: bukan lagi sekadar domain militer, melainkan domain pengetahuan yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Komentar
Posting Komentar