Era Substitusi Produksi: Membangun dari Dalam Negeri
Memasuki era 1990–2000-an, Indonesia mulai memasuki fase penting dalam pembangunan industri pertahanan nasional: era substitusi produksi, yaitu upaya sistematis untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor dengan mengembangkan kemampuan produksi di dalam negeri. Fase ini ditandai oleh bangkitnya BUMN strategis seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia (DI), PT PAL, dan PT Dahana sebagai lokomotif utama pembangunan kapasitas industri pertahanan nasional.
Setelah melewati era ketergantungan yang sangat mengandalkan impor, pemerintah menyadari bahwa kedaulatan pertahanan tidak dapat dicapai jika bangsa ini hanya menjadi konsumen teknologi militer. Oleh karena itu, pembangunan pabrik, lini produksi, dan fasilitas perakitan mulai digencarkan untuk menciptakan fondasi manufaktur nasional yang kuat.
Awal Kemandirian Produksi: Tonggak Sejarah Baru
Di era ini, Indonesia berhasil mengembangkan sejumlah produk pertahanan yang menjadi tonggak sejarah bagi kemandirian nasional:
-
PT Pindad memproduksi senjata ringan seperti SS1, SS2, hingga berbagai jenis munisi.
-
PT DI merakit pesawat angkut seperti CN-235 dan berbagai pesawat latih.
-
PT PAL mengembangkan kapal perang, kapal cepat rudal, dan kapal logistik.
-
PT Dahana memperkuat industri bahan peledak untuk kebutuhan komersial dan militer.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil keluar dari fase consumer nation menuju producing nation di sektor pertahanan.
Namun, meskipun kapasitas produksi meningkat, aspek inovasi masih belum berkembang optimal.
1. Fokus pada Manufaktur, Bukan Desain dan Inovasi Teknologi
Ciri utama fase substitusi produksi adalah fokus besar pada penguasaan proses manufaktur, bukan pada desain dan riset teknologi. Industri berhasil menguasai cara memproduksi barang, tetapi belum menguasai ilmu yang mendasari produk tersebut.
Inilah perbedaannya:
-
Manufacturing capability: kemampuan membuat barang sesuai standar dan spesifikasi.
-
Design capability: kemampuan menciptakan teknologi baru dan merancang produk dari awal.
Indonesia pada saat itu lebih kuat pada manufacturing capability. Produk yang dihasilkan memang buatan dalam negeri, tetapi teknologinya masih sangat bergantung pada lisensi dan blueprint yang diberikan negara asing. Kemandirian inovasi masih jauh dari ideal.
2. Kolaborasi Riset yang Terbatas dan Tidak Terstruktur
Kolaborasi riset di era ini masih bersifat sporadis dan berbasis proyek pemerintah, bukan kolaborasi ekosistem. Lembaga riset, universitas, dan industri pertahanan sering bekerja sendiri-sendiri. Ketika proyek selesai, kolaborasi pun terhenti. Tidak ada continuity of learning, sehingga pengetahuan tidak terakumulasi dengan baik.
Hambatannya antara lain:
-
minimnya pusat riset pertahanan terpadu,
-
pendanaan riset yang tidak konsisten,
-
kurangnya skema kolaborasi antara kampus dan industri,
-
serta belum adanya platform berbagi pengetahuan nasional.
Akibatnya, hasil riset sering kali berhenti di tahap prototipe dan tidak berlanjut menjadi produk industri.
3. Kurangnya Knowledge Sharing Antar Lembaga Strategis
Era substitusi produksi juga ditandai oleh rendahnya budaya berbagi pengetahuan di sektor pertahanan. Pengetahuan produksi, pengalaman operasional, atau temuan riset sering kali tersimpan dalam silo tertentu. BUMN pertahanan jarang saling bertukar pengetahuan, dan universitas tidak mendapatkan akses penuh untuk mengembangkan riset lanjutan.
Tanpa knowledge sharing:
-
inovasi berjalan lambat,
-
kesalahan berulang,
-
biaya produksi menjadi tinggi,
-
dan learning curve nasional bergerak sangat lambat.
Inilah salah satu penghambat utama dalam menciptakan lompatan kualitas industri pertahanan nasional.
4. Rantai Pasok yang Lokal dan Tidak Didukung Sistem Pengetahuan
Fase ini juga menunjukkan bahwa rantai pasok industri pertahanan masih bersifat lokal dan belum terintegrasi dengan sistem manajemen pengetahuan. Rantai pasok yang kuat seharusnya bukan hanya menyediakan bahan baku, tetapi juga menyediakan:
-
design data,
-
manufacturing knowledge,
-
quality lessons,
-
serta dokumentasi operasional.
Tanpa itu, rantai pasok hanya menjadi aktivitas distribusi, bukan sumber inovasi.
Inilah sebabnya Indonesia kesulitan bersaing dalam teknologi global berkecepatan tinggi.
Tantangan di Tengah Perubahan Teknologi Global
Era substitusi produksi sangat penting sebagai fondasi kemandirian nasional. Namun, pada saat negara-negara lain mulai beralih ke:
-
AI-based warfare systems,
-
drone swarm intelligence,
-
autonomous robotics,
-
space-based defense,
-
automated cyber defense,
Indonesia masih fokus pada modernisasi alutsista konvensional.
Perbedaan kecepatan ini semakin melebar ketika global defense industry memasuki fase revolusioner: pertahanan berbasis data, algoritma, dan sistem cerdas. Industri pertahanan Indonesia belum memiliki ekosistem riset yang cukup kuat untuk mengejar perkembangan tersebut.
Penutup: Fondasi yang Penting Namun Belum Cukup
Era substitusi produksi adalah fase penting yang menandai keberhasilan Indonesia membangun kapasitas manufaktur pertahanan nasional. Namun fase ini belum cukup untuk menciptakan kemandirian inovasi. Industri masih menghadapi kesenjangan besar dalam riset, transfer pengetahuan, dan adaptasi teknologi.
Fase ini menjadi jembatan penting menuju era berikutnya—era berbasis inovasi dan pengetahuan melalui model EB2P Defense, yang mengubah industri pertahanan dari sekadar producer of tools menjadi producer of knowledge and innovation.

Komentar
Posting Komentar