Pergeseran ke Sistem Terbuka Berbasis Pengetahuan

Pergeseran ke Sistem Terbuka Berbasis Pengetahuan

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menyaksikan lompatan besar dalam perkembangan teknologi global. Kecerdasan buatan (AI), big data, Internet of Things (IoT), robotika, sensor pintar, hingga komputasi kuantum telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk pertahanan. Teknologi bukan lagi sekadar alat pendukung, melainkan otak strategis yang menentukan kecepatan, presisi, dan efektivitas sebuah sistem pertahanan. Dalam konteks ini, sistem pertahanan modern harus mampu belajar, beradaptasi, dan berinovasi secara berkelanjutan, bukan hanya mengikuti pola operasi konvensional.

Perubahan teknologi yang begitu cepat ini menuntut sistem pertahanan nasional untuk meninggalkan model tertutup yang selama ini dianut. Sistem tertutup membuat pertahanan sulit merespons dinamika teknologi dan ancaman baru secara real-time. Era perang siber, perang informasi, dan sistem tempur otonom menuntut kemampuan baru yang tidak dapat dibangun secara internal tanpa dukungan ekosistem pengetahuan yang luas. Dengan kata lain, pertahanan tidak bisa lagi berdiri sendiri, tetapi harus terhubung dalam knowledge network nasional—ekosistem pengetahuan yang menghubungkan pemerintah, industri, universitas, startup, dan masyarakat.

Model baru pertahanan ini adalah sistem terbuka berbasis pengetahuan. “Terbuka” bukan berarti mengabaikan keamanan, tetapi mengizinkan pertukaran pengetahuan, kolaborasi riset, dan inovasi bersama dalam kerangka yang aman dan terarah. Model ini bersifat kolaboratif, adaptif, dan dinamis, mengikuti logika dunia digital yang terus berubah. Dalam sistem ini, pengetahuan dapat mengalir dari berbagai sumber, mempercepat proses penciptaan inovasi dan memperkuat daya saing industri pertahanan nasional.

Konsep Quadruple Helix menjadi pilar penting dalam sistem ini. Quadruple Helix menjelaskan bagaimana pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat saling berinteraksi dalam menciptakan nilai baru. Pada sektor pertahanan, konsep ini menjadi mesin utama untuk mempercepat inovasi:

  • Pemerintah memberikan arah strategis, kebijakan, dan keamanan data.

  • Industri mengembangkan teknologi ke dalam produk nyata.

  • Universitas dan lembaga riset menghasilkan pengetahuan baru dan talenta teknologi.

  • Masyarakat dan startup teknologi memperkaya inovasi melalui kreativitas dan disrupsi.

Hasil dari interaksi ini adalah rantai nilai baru pertahanan, defense knowledge value chain, yang dapat dirumuskan sebagai:

“Dari riset menjadi inovasi, dari inovasi menjadi produk, dari produk menjadi pertahanan yang berdaya saing global.”

Rantai nilai ini menegaskan bahwa kekuatan pertahanan tidak lagi ditentukan oleh kemampuan membeli teknologi, tetapi oleh kemampuan menciptakan dan mengelola pengetahuan secara sistematis. Dengan demikian, pertahanan modern harus mengadopsi mindset ekosistem, bukan sekadar mindset organisasi. Pertahanan bukan lagi institusi yang hanya menjaga batas teritorial, tetapi entitas yang mengorkestrasi pengetahuan nasional untuk menjaga keberlanjutan kedaulatan.

Dalam kerangka ini, kedaulatan tidak hanya bermakna kontrol terhadap wilayah, tetapi juga kemampuan menguasai teknologi strategis, mengamankan data nasional, dan memastikan bahwa inovasi terus tumbuh dari dalam negeri. Negara yang tidak mengintegrasikan sistem pertahanannya ke dalam ekosistem pengetahuan nasional akan tertinggal jauh di belakang, karena inovasi tidak mungkin lahir dari isolasi.

Dengan mengadopsi sistem terbuka berbasis pengetahuan, Indonesia dapat mempercepat lompatan teknologi pertahanannya. Model ini membuka peluang besar bagi kolaborasi lintas sektor, pengembangan startup defense tech, optimalisasi riset universitas, dan penggunaan teknologi digital sebagai penggerak utama pertahanan masa depan. Transformasi ini adalah fondasi menuju kemandirian pertahanan yang tidak hanya kuat secara material, tetapi cerdas secara strategis—sebuah kedaulatan yang bertahan di tengah perubahan zaman.